Rabu, 20 Maret 2013

Mimpi Untuk Dunia

Matahari terlelap tidur mendakan waktu sudah malam, berganti bulan dikelilingi oleh bintang-bintang yang menari-nari di angkasa. Hari ini tanggal 1 Oktober 2012, empat buah handhope terus berbunyi tepat pukul 00.00 WITA. Satu… Dua… Tiga…. Mimpi untuk dunia….. Itulah suara keempat  sahabat berteriak di sebuah perkampungan. Seketika lampu rumah penduduk terus menyala, pintu-pintu terbuka dalam selang waktu yang bersamaan, para lelaki mulai berteriak, mengejar kami bagaikan mengejar maling tertangkap basah.“kabur……” kata Rafli sambil berlari, kamipun segera berlari dengan cepat seperti dikejar hantu  mengikuti Rafli dengan ekspresi ketakutan dikejar warga. Waktu itu Ryan  yang berbadan besar seketika berlari cepat. Seketika aku, Rafli, Ryan, dan Ridwan terkejut dan tertawa melihat Ryan dapat berlari kencang mengalahkan Rafli  yang terkenal dengan larinya yang cepat, tak kami sadari ternyata warga semakin dekat dan satu… Dua… Tiga…. Lari….
Akhirnya kami bebas dari ketakutan dan sampai di Bukit Impian, yah itulah nama yang kami berikan kepada bukit tempat kami berkumpul empat sahabat berbeda mimpi. Sebelum matahari hendak terbangun memberikan sinarnya kami berteriak kepada dunia ini dengan kencang “dunia kau kan kami dapatkan, bintang-bintang kau kan kami genggam, bulan cahayamu kan kami kalahkan karena pemimpi untuk dunia segera datang.”  Yah suara yang kami harapkan melaju dengan kecepatan tinggi menjelajahi dunia melalui angin yang tertiup dan terdengar oleh seluruh homo sapiens di dunia ini supaya mereka bersiap melihat empat sahabat menjadi pemimpin dunia. Senyuman manis terus terpancar dari wajah kami, genggaman tangan semakin erat, pelukan sahabat mengahangatkan pori-pori kulit ini.
Saatnya berlari menuruni bukit menuju perkampungan. “Apa yang akan terjadi terhadap kita?” Rafli bertanya kepada kami “memang apa yang akan terjadi?” tanyaku kepada Rafli.
Seketika Rafli  menjelaskan “tadi warga mengikuti kita dengan penuh kemarahan karena kita berteriak diwaktu warga tertidur lelap” raut Rafli kebingungan “haha ngapain kita harus takut” jawabku kepada Rafli sambil tersenyum “iya bener tuh paling juga di suruh keliling kampung  tujuh kali putaran seperti dulu” jawab Ryan sambil menghela nafas karena lelah berlari tadi “ betul banget, masa empat serangkai ketakutan gini” jawabku “senang,susah kita bersama” Ryan  berkata sambil meyakinkan kami.

Akhirnya gerbang desa terlihat mendekat terus mendekat, dan disana sudah ada kepala kampung menunggu dengan para lelaki di belakangnya, “siap-siap deh kita kena marah” Rafli berbisik dengan suara pelan. “Rangga cepat kau maju hadapi Kepala Kampung” tangan teman-temanku mendorong tubuhku yang sedang letih. “iya-iya aku kan maju” jawabku dengan tegas. Yah itulah sensasi dari pemimpin harus maju ketika menghadapi masalah, harus melindungi anggota dan masih banyak lagi. Pertama ku tarik nafas panjang dan mengeluarkan sejuta karbondioksida  yang sulit ku hitung, genggaman tanganku semakin kuat, ayo maju Rangga hati ku selalu berkata. Akhirnya ku langkahkan kaki ini menuju kepala kampung. “Pak Agus” suaraku sedikit pelan dengan mata tertunduk kebawah
“Apa yang kau dan teman-temanmu lakukan nak?” Pak Munajat bersuara dengan penuh kebijaksanaan.
Sementara para warga sudah kesal, dan ingin meluapkannya kepada kami. “Kemarin kami merayakan kebersamaan kami di tengah malam, dan maaf kami telah mengganggu ketenangan semua yang telah terlelap dengan nyenyaknya” jawabku sambil menatap dengan penuh keyakinan
“ya sudah kalau memang begitu, kau telah mewakili teman-temanmu untuk meminta maaf, dan kalian tahu kan apa hukuman yang sering kalian lakukan?” jawab kepala kampung, “iya Pak kami sudah tahu mengelilingi kampung sebanyak tujuh putaran” jawabku. “bukan hanya itu kalian harus membersihkan seluruh sampah setiap sore dan berlari tujuh putaran mengeliling kampung selama sebulan” kata Pak Agus “yah ditambah hukumannya, pasti lebih lelah” Ryan berkata sambil melihat Rafli “ah dasar kamu Ryan, biar langsing tuh perut”  jawab Rafli sambil tersenyum “baik Pak, kami terima seluruh hukuman itu, dan kepada warga kami mohon maaf atas semua kejahilan kami serta perilaku kami” jawab ku dengan penuh bijaksana. “iya seluruh warga telah memaafkan kalian” jawab Pak Agus sambil menepuk punggunngku. Aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman
Warga pun bubar dari sebuah pengakuan empat  sahabat yang telah mengganggu tidur mereka. Kami pun berkumpul kembali, yah terasa lega setelah berakhirnya kejadian tadi. Kami tertawa bersama dan melihat mata kami seperti mata panda karena ada lingkaran hitam tanda kurang tidur. Seketika mulut kami menguap, jalan sudah mau jatuh, mata kami menjadi sipit.“cape banget nih” kata Ryan. Kami tetap menyusuri gang-gang untuk menuju tempat berkumpul kami “iya bener banget tuh, liat mataku sudah tak dapat terbuka dengan stabil” jawab Ridwan sambil jarinya menunjuk kepada matanya. “ah kalian semua payah, liat dong sang pemimpin ini masih sangat tegang” kata Rafli sambil memegang bahuku dan menyentuh kepalaku. “aku memang masih tegang, meskipun kelakuan kita suka buat marah warga tapi baru kali ini kita langsung harus berhadapan dengan Pak Agus” jawab ku sambil menarik nafas. “ah sudah-sudah berhenti nanti kita lama sampai di rumah pohon” jawab Ridwan.
Ridwan adalah orang yang paling bijaksana diantara kami dan perhatian kepada sahabat-sahabatnya
“cie cie sang bijak mulai berkata” kata Ryan sambil menggoda Ridwan.  Akhirnya kami sampai dan empat buah bantal mulai berserakan di rumah pohon. Penat ini ingin segera terhilangkan, matahari semakin menantang dengan cahayanya yang terus naik ke tengah-tengah langit. Namun karena lelah sekali kami masih memaafkan mu matahari dan tertidur dengan pulas untuk mengisi amunisi supaya tidak lelah harus melakukan hukuman nanti.

Suara detik waktu terus terdengar namun bukan suara jam yang membangunkan ku, handphone pun bukan, tapi duet nyanyian ngorok Ryan dan Rafli. Yah seolah menonton konser K-POP di Gelora Bung Karno. Nada rendah Ryan di balas nada tinggi Rafli, mereka berdua sudah kayak 2 Mega Stars di konser yang satu tiketnya 200 juta. Akhirnya Riswan dan aku pun terbangun dengan mata yang masih ngantuk. “Aduh 2 orang ini tidur kayak konser” Ridwan berkata dengan kesalnya
“gimana kalau kita kerjain?” saranku kepada Ridwan. “ah aku setuju banget. kasih aja garam trus tempelin di bibir mereka.” Ridwan memberikan idenya “ok, aku ambil dulu garamnya.”

Aku dan Ridwan sudah menahan tawa ketika hendak memberikan garam pada bibir 2 Mega Star ngorok itu. Aku mengoleskan garam kepada Ryan dan Ridwan kepada Rafli. Seketika mereka terbangun dari tidurnya dan mengejar kami sambil mengucapkan kata-kata dengan tak jelas kami dengar.  Berlari dengan kencang, melaju seperti kuda  yang berlari di padang rumput. Namun sekencang kami berlari, Rafli yang baru terbangun lebih kencang larinya dari pada kami. Hap, tertangkaplah Ridwan oleh pelukan keras Rafli.
Seketika aku tertawa melihat Ridwan yang akan mendapatkan balasan dari Rafli. Lari, lari dan berlari itulah yang aku lakukan diikuti Ryan dan Rafli. Ketika aku menengok kebelakang ternyata hanya ada Ryan yang berlari penuh keringat yang keluar dari seluruh tubuhnya. Aku hanya bisa tertawa dengan sedikit memelankan kecepatan lariku. Ketika aku menengok kedepan ternyata sudah ada Rafli bersiap menangkapku. Tak ada cara untuk aku keluar dari tekanan mereka selain terbang keatas, namun aku tak punya sayap, bahkan aku tak menyangka Rafli dengan kecerdikannya membuat aku terkejut. Hap aku tertangkap oleh Rafli dan Ryan. Aku pun diseret mendekati Ridwan yang sebelumnya ditangkap oleh Rafli, meskipun merasa bersalah tapi kami ingin terus tersenyum mengingat ekspresi mereka ketika menjilat garam yang kami oleskan.
Tibalah kami di sebuah sungai yang bersih dan warna yang jernih. Matahari terus menantang dengan cahaya yang sangat panas dan berada diatas kepala kami. Blubuk blubuk blubuk seperti suara air dalam aquarium ikan, itulah suara air disaat aku dan Ridwan masuk kedalamnya. Rafly dan Ryan tertawa dengan keras melihat kami basah kuyup.Mereka pun menarik tangan kami dan mengembalikan kami ke darat dengan seluruh tubuh di basahi air sungai. Kami pun ingin balas dendam kepada mereka.Dengan saling menatap dan terseyum aku dan Ridwan menarik tangan mereka dengan waktu yang bersamaan. Akhirnya kami sang Pemimpi untuk Dunia tercebur ke dalam sungai dengan bersama-sama. “ber…. seger banget”  Rafli berkata sambil kedinginan. “ayo kita pulang perutku sudah dangdutan”kata Ryan  sambil memegang perutnya
“ah dasar kau Ryan, perut mulu yang di pikirin aku juga lapar ayo kita pulang” balasan Rafli sambil tersenyum atas ajakan. “sudah-sudah jangan banyak bicara, kita cepat pulang saja lalu makan dirumah masing-masing dan nanti sore jangan lupa kita berkumpul di balai RW” Ridwan berkata
“siap” kami berkata dengan kencang dan berbarengan sambil mengangkat tangan seperti hormat kepada Sang Merah Putih. “satu… dua…. tiga…” aku memberikan aba-aba untuk pulang.
2 jam sudah kami beristirahat, dan harus berkumpul di balai RW. Sesampainya aku di balai RW, ternyata belum ada seorangpun temanku yang sudah sampai. Aku pun hanya menunggu di teras balai RW menunggu teman-teman datang dan melakukan hukuman yang diberikan. Tiba-tiba Pak Agus datang bersama Rafli dan berkata. “kau sudah lama disini?” Rafli bertanya kepadaku, “iya aku sudah 20 menit menunggu di teras” jawabku, “Keluargamu tidak memberitahumu?” Tanya Pak Agus dengan seriusnya. “tadi ketika aku selesai mandi ibuku pergi dengan terburu-buru menuju rumah tetangga dan aku tak tahu siapa tetangga yang akan dia datangi” penjelasanku.
Rafli tiba-tiba mengeluarkan air mata dan memelukku dengan erat. Dengan suara pelan Rafli membisikkan kata kepadaku “Ridwan telah meninggal” itu kata yang terucap dari bibir Rafli
Seketika tubuh ini lemas seolah tulang-tulang tak menegakkan badan ini. Akupun menangis dipelukan Fahma. Aku teringat kenangan-kenangan bersama Ridwan sang pemimpi yang bijak itu, dan air mataku pun turun membasahi baju Rafli. Pak Agus pun mengajakku untuk bertemu dengan Ridwan untuk yang terakhir kalinya. Tapi rasa tak percaya masih terus berkata dalam hatiku namun semua itu terjawab ketika di gang menuju rumah Ridwan terdapat bendera kuning. Rasa tak percaya ditinggalkan sahabat secepat ini membuatku hanya bisa terdiam melihat rumah Ridwan dan  terpaku sambil memegang pagar itulah yang bisa kulakukan. Ryan telah ada dirumah duka berdiam di pojok rumah sambil menangis bagaikan air terjun.
Bau kamperpun terus menusuk di lubang hidung ini, namun itulah wangi terakhir dari Ridwan.
“ayo kita menemui Ridwan” kata Rafli. “iya mungkin dia sudah rindu ingin bertemu kita sebelum dia pergi” jawab Ryan sambil menahan tangis. Kami pun pergi melihat Ridwan dan menangis sambil mengatakan apa saja yang harus dia dengar dari mulut sahabatnya. Sampai akhirnya Ridwan dimakamkan kami terus mengantarkannya mengiringi jalan-jalan dunia yang terakhir kali dia akan lewati. Butir-butir tanah terus berjatuhan begitu pula air mata kami terus mengalir bersamaan. Rafli dan Ryan pun memutuskan untuk bertemu dengan keluarga Ridwan dan berbincang-bincang sekedar menghilangkan rasa sedih ini. Sedangkan, aku pergi ke bukit impian menaiki rumah pohon yang kami buat bersama walaupun rumah pohon ini kecil tapi tempat ini adalah tempat berkumpul empat sahabat. Aku duduk di pojok rumah pohon, dengan tatapan hampa, kosong, merawang jauh, peninggalan Ridwan sangat sulit bagiku. Butir-butiran air mataku menyentuh pipihku, saat aku mengigat kenangan bersama Ridwan sang pemimpi bijak, air mataku semakin deras bagaikan air terjun yang berderas dengan kuat tapi, aku menghapus butir-butiran air mataku dan berusaha tegar.
Kini bukit Impian telah kehilangan seorang pemimpi yang ingin menjadi psikolog untuk memperbaiki moral bangsa yang sekarang telah kembali untuk pulang bertemu dengan sang pencipta. Teriakan kemarin adalah teriakan terakhir empat pemimpi namun bukan akhir dari teriakan tiga pemimpi yang masih mencoba untuk tetap melaju pada impian masing-masing, Sebuah pelajaran hidup yang selalu Ridwan ajarkan akan menjadi sebuah kisah klasik untuk di kenang dan di bangga-banggakan di masa depan.
Lima tahun berlalu sekarang adalah tahun 2017 tepat tanggal 1 Oktober, tiga pemimpi datang lagi ke bukit Impian untuk melihat apakah mereka telah mendapatkan mimpi-mimpi mereka. Berjalanlah kami menyusuri jalanan yang masih berupa tanah yang sama seperti dulu menggenggam tangan, bercanda sebentar dan berlari saling mengejar untuk mengenang masa lalu. Meskipun ada yang kurang tapi kami yakin Ridwan telah meraih mimpinya yang mungkin tak pernah kami tahu apa mimpi itu. Botol-botol yang tergantung di batang pohon mendekat dan terus mendekat, tulisan yang tertempel pun terus mendekat.
Satu orang mengambil satu botol dan kertas untuk membacakan mimpi-mimpi untuk dunia yang di tulis lima tahun yang lalu. “hom pim pah layum gambreng ma ijah pake baju rombeng” ucapan kami.
Akhirnya aku mendapat giliran pertama, aku boleh membawa 2 botol dan 2 kertas. Rafli mendapat giliran kedua, dan Ryan mendapat giliran terakhir. “cap cip cup kembang kuncup” kataku sambil menunjuk dengan jariku. “kau seperti anak kecil pak Presiden” saut Ryan sambil tertawa “haha ayolah cepat ambil dan berdiri di belakang” Kata Rafli. “waw karena seorang pelari tingkat dunia jadi ingin cepat-cepat?” kata Ryan, “sudah-sudah ayo cepat” kataku. Segeralah aku mengambil, kemudian dilanjutkan oleh teman-teman yang lain. Impian-impian itu telah ada di tangan saatnya membacakan “mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pelari tingkat dunia yang mendapat banyak gelar dan penghargaan, yang kedua mendirikan sekolah pelari tingkat internasional di Indonesia, yang ketiga aku berharap keluargaku bangga akan diriku, yang keempat aku ingin bersama sahabat-sahabatku dan berkumpul lagi di bukit ini, yang kelima semoga saja pohon ini tak ada yang menebang dan mimpi-mimpiku yang lain tak akan ku beritahu kepada kalian hahahaha” mimpi Rafli yang dibacakan oleh Ryan. “mimpiku yang pertama ingin menjadi seorang pengusaha yang berhasil meraih banyak penghargaan dan membantu orang-orang yang kesusahan, yang kedua aku ingin kuliah jurusan ekonomi di luar negeri, yang ketiga aku ingin memberikan sebuah mobil untuk Bapak dan Ibu, yang keempat dan seterusnya aku tak mau memberi tahu kepada kalian ini rahasia” mimpiku yang dibacakan Rafli. “mimpiku menjadi seorang ilmuwan di bidang biologi, aku ingin memiliki laboratorium sendiri, terkenal di dunia, aku ingin sekolah ke luar negeri, mendirikan rumah sakit, mimpi yang lainnya nanti menyusul hahaha” mimpi Ryan yang dibacakan olehku.
Seluruh mimpi itu membuat kami tertawa karena lanjutan di dalam mimpi itu kami saling merahasiakan. Namun tersisa satu kertas mimpi di tanganku, mereka langsung melihat kertas yang masih tergulung itu. Rasa penasaran seakan tergurat dari wajah kami dan siap menerima semua yang dimimpikan oleh Ridwan sahabat yang telah pergi. Akupun membacakan isi mimpi itu.
“mimpiku yang pertama aku ingin menjadi orang yang hidup lebih lama di dunia ini menemani keluargaku dengan senyumanku, yang kedua aku ingin jujur kepada sahabat-sahabatku bahwa aku terkena penyakit mematikan tapi semua itu sulit di wujudkan aku tak ingin melihat binar mata mereka menjadi mata yang berkaca-kaca, yang ketiga aku ingin sahabatku bangga karena telah mengenalku, yang keempat aku ingin mewarnai dunia dengan mimpi-mimpi dan harapanku dan yang terakhir aku mohon jangan panggil namaku sekarang” mimpi Ridwan yang dibacakan olehku dengan menahan air mata.
Raut wajah menangis terus terpancar dari wajah kami. Tak di sangka si bijak yang pandai memaknai hidup ternyata dia menghadapi hal yang sulit. Waktu itu Ridwan wajahnya semakin pucat kami hanya selalu menganggap bahwa dia berubah menjadi pipi susu ternyata itu adalah penurunan kondisinya. Kami termenung terdiam dan mengeluarkan air mata. Ryan berdiri dan berkata “dia sahabat yang baik” “ayo kita alirkan mimpi-mimpi dalam botol ini nanti botol ini akan berlabuh di suatu tempat yang kita sendiri tak tahu tempat itu dimana dan tancapkan kertas-kertas mimpi di pohon impian” Rafli berkata, “ayo kita ke sungai tempat terakhir kita bercanda lima tahun yang lalu bersama Ridwan” kataku sambil mengajak sahabat-sahabatku.
Sebelum kami pergi ke sungai, kami menancapkan mimpi kertas itu di pohon impian yang abadi. Berlari dengan penuh semangat saling adu cepat menuju sungai tempat terakhir bercanda bersama Ridwan. Semakin mendekat dan terus mendekat ke sungai penuh kenangan klasik semakin bercucuran air mata. Akhirnya kami sampai dan langsung masuk kesungai itu, mengenang masa lalu bersama Faisal dan dengan sekuat tenaga melemparkan botol impian ini untuk melaju di mimpi yang sulit namun harus pasti bisa dilalui. Badan kami semuanya basah namun kami masih ingin berenang disini dan berkata dengan sekeras mungkin “mimpi untuk dunia” kami berkata sambil tersenyum bangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar